Senin, 29 Juli 2013

Tinjauan Umum Undang - Undang Pendidikan Kedokteran

Sebuah kajian oleh Kastrat BEM IKM FKUI 2013

UU Dikdok tinggal tunggu ketok palu
Pelayanan kedokteran di Indonesia saat ini terselenggara secara tidak merata. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2012, terungkap bahwa dari 9.510 puskesmas yang ada di Indonesia, 14,7% di antaranya tidak memiliki tenaga dokter. Selain itu masih terdapat 16,76% puskesmas di negara kita yang tidak memiliki jumlah tenaga kesehatan (nakes) minimal, yang terdiri dari 1 dokter, 1 perawat dan 1 bidan. 
Dokter-dokter yang ahli itu terpusat di kota besar, terutama di Jakarta. Sementara itu di beberapa daerah,  keberadaan dokter sangat minim. Posisi rasio dokter penduduk terendah ditempati oleh Sulawesi Barat (8,8/100 ribu), NTT (10/100 ribu), Maluku (12,5/100 ribu), Maluku Utara (12,6/100 ribu) dan NTB (13,6/100 ribu). Di sisi lain, kesejahteraan dokter di Indonesia juga tidak merata, begitu juga kualitas layanan yang diberikan 
Beberapa gambaran permasalahan kesehatan Indonesia di atas, kemudian coba dijawab dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang belum lama disahkan pada tanggal 11 Juli 2013, setelah melewati perjalanan yang panjang semenjak tahun 2011. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, terutama dokter, melalui perbaikan sistem pendidikan serta pemerataan kesempatan pendidikan. 
Undang-undang ini mengatur kegiatan kedokteran dimulai dari pendidikan kedokteran itu sendiri hingga bentuk pelayanan kedokteran di masyarakat. Ada beberapa perubahan yang akan terjadi di dunia kedokteran Indonesia paska pengesahan peraturan ini. Dari segi pendidikan, institusi pendidikan kedokteran harus memenuhi beberapa syarat-syarat yang berlaku. Dari segi pelayanan kesehatan, akan ada Integrasi terhadap perubahan sistem menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menuntut adanya dokter layanan primer dan sistem rujukan yang baik, 
  
Berikut adalah beberapa poin penting dalam undang-undang pendidikan kedokteran ini;

Dokter Layanan Primer.
Apakah itu dokter layanan primer? Dokter layanan primer adalah sebuah cabang spesialis baru dalam dunia kedokteran Indonesia, ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Nantinya, mayoritas pasien akan dihadapkan dengan dokter layanan primer bertugas saat SJSN sudah rampung.  

Dokter Layanan Primer berbeda dari dokter umum karena harus menjalani studi lebih lanjut selama kurang lebih 2 tahun dan akan  diperlakukan setara dengan dokter spesialis. Hal ini tercantum pada pasal 8 ayat 3 yang berbunyi: ”Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.” Sebagai tambahan, dalam program SJSN nanti, dokter yang akan digaji oleh sistem adalah dokter layanan primer, dokter spesialis dan dokter sub-spesialis.

Lalu bagaimana nasib dokter umum?  Dokter umum masih bisa berpraktek seperti biasa di klinik dan rumah sakit swasta yang tidak tergabung dalam SJSN selama mereka memiliki izin untuk berpraktek.

Terdapat beberapa kekhawatiran dalam pendidikan dokter layanan primer. Salah satunya dalam penyelenggaraan pendidikan. Hanya beberapa fakultas yang dapat menjalankan program pendidikan dokter layanan primer.
Berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU Pendidikan Kedokteran, yang berbunyi:
“Program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis, subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi”  studi dokter layanan primer hanya bisa diambil di fakultas kedokteran dengan akreditasi tertinggi (A)  Permasalahan yang mungkin muncul adalah, dari 80 Universitas yang memiliki fakultas kedokteran di Indonesia, hanya 19 yang memiliki akreditasi A menurut data badan akreditasi nasional kemendikbud. Hal ini berpotensi memperkecil kesempatan untuk menjadi dokter layanan primer, padahal di era SJSN nanti diharapkan jumlah dokter layanan primer berada di dasar piramida dokter Indonesia, yakni menempati komposisi dokter terbanyak dari ragam dokter lainnya. Meski dalam pasal 8 ayat 2 dijelaskan lebih lanjut; 

“Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas Kedokteran dengan akreditasi kategori tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih rendah dalam menjalankan program dokter layanan primer.” 
Fakultas kedokteran dengan akreditasi B bisa menjadi sarana kerjasama fakultas yang memiliki akreditasi A untuk pendidikan dokter layanan primer, bentuk kerja sama ini masih belum jelas

Dokter umum tidak diwajibkan untuk mengambil pendidikan dokter layanan primer, hanya saja jika mau berpartisipasi dalam SJSN maka dokter umum perlu menjadi dokter layanan primer atau spesialis atau subspesialis. Selain itu, berdasarkan pasal 31 ayat 1 poin b, “memperoleh insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran bagi mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialissubspesialis, dan dokter gigi spesialis subspesialis”, selama pendidikan dokter layanan primer, seperti pendidikan dokter spesialis dan subspesialis, memiliki hak untuk menerima insentif dari rumah sakit pendidikan atas jasa medis yang dilakukan.

Internsip
           Berdasarkan pasal 38 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
“(1) Mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus mengikuti program internsip.
  
(2) Penempatan wajib sementara pada program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai masa kerja. “
mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan kedokteran dan sudah disumpah wajib mengikuti internsip. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang lebih kuat terhadap program internsip yang sebelumnya diatur melalui Permenkes nomor 229/MENKES/PER/II/2010. Perubahan lain yang terjadi terkai internsip adalah program Internsip akan dihitung sebagai masa kerja.

Perbaikan mutu pendidikan
Untuk memperbaiki mutu pendidikan, maka fakultas kedokteran kini diwajibkan untuk memiliki rumah sakit pendidikannya sendiri. Berdasarkan pasal 41 ayat 2 “Rumah Sakit Pendidikan Utama hanya dapat bekerja sama dengan 1 (satu) Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi sebagai rumah sakit pendidikan utamanya.”, setiap fakultas kedokteran wajib memiliki 1 rumah sakit pendidikan utama, dimana rumah sakit pendidikan utama adalah rumah sakit umum. Selain itu, berdasarkan ayat 3 yang berbunyi “Selain kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Rumah Sakit Pendidikan Utama dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah Sakit Pendidikan Satelit bagi Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi lainnya” fakultas kedokteran boleh memiliki rumah pendidikan satelit sebagai pelengkap. Untuk menyesuaikan, maka berdasarkan pasal 59, yang berbunyi
“(1) Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-
Undang ini paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” diberikan masa peralihan selama 5 tahun yang jika setelah 5 tahun masih belum memiliki rumah sakit pendidikan atau masih belum sesuai dengan ketentuan undangundang akan ditutup.

Beasiswa
Beasiswa memiliki banyak sumber, antara lain pemerintah, pemerintah daerah, fakultas dan pihak lain. Pemerintah  Pasal 32 yang berbunyi 
“(1) Mahasiswa dapat memperoleh beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan.
(2) Beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari: a. Pemerintah;
b.      Pemerintah Daerah;
c.       Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau
d.      pihak lain.” dan dijelaskan lebih lanjut di pasal 33 yang berbunyi: 
(1)        Beasiswa yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 2 huruf a diberikan kepada Mahasiswa dengan kewajiban ikatan dinas untuk ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)        Beasiswa yang bersumber dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b diberikan kepada Mahasiswa dengan kewajiban ikatan dinas untuk daerahnya.
(3)        Bantuan biaya pendidikan yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dan huruf b diberikan kepada Mahasiswa tanpa kewajiban mengikat dalam rangka memenuhi program afirmasi.
(4)        Beasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan pertimbangan prestasi dan/atau potensi akademik.”
Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah memiliki kewajiban ikatan dinas di tempat yang ditentukan oleh pemerintah. Selain itu mahasiswa juga dapat menerima bantuan dari pemerintah tanpa kewajiban ikatan dinas. 
Penerimaan mahasiswa kedokteran baru
Berdasarkan  pasal 27 ayat 2, yang berbunyi “Selain lulus seleksi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian.” Tes kepribadian akan dijadikan bagian dalam tes penerimaan ke fakultas kedokteran. Masih belum diketahui bentuknya.
             
 Kuota penerimaan mahasiswa baru juga sekarang diatur dalam UU Dikdok dimana sebelumnya kuota penerimaan mahasiswa baru menjadi wewenang masingmasing universitas. Berdasarkan pasal 9 yang berbunyi:  
“(1) Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
(2) Ketentuan mengenai kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.”  dan pasal 10 yang berbunyi: 
“Dalam hal adanya peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan, Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dapat menugaskan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk meningkatkan kuota penerimaan Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan/atau dokter gigi spesialis-subspesialis sepanjang memenuhi daya tampung dan daya dukung sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.”
kuota mahasiswa nasional yang bisa diterima ke fakultas kedokteran kini diatur oleh kementrian bidang kesehatan. Kuota ini bisa naik dan bisa turun sesuai dengan kebutuhan nasional. Hal ini juga mempengaruhi pendidikan dokter layanan primer, spesialis dan subspesialis. 
Poin yang menurut saya sangat perlu kita kritisi adalah aksesibilitas calon mahasiswa terhadap pendidikan kedokteran (Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama ini akses dikdok masih menjadi masalah populis yang belum terselesaikan.
Terkait masalah akses pendidikan kedokteran, yakni melalui penerimaan mahasiswa baru, perlu diperjelas mengenai "jalur khusus" penerimaan mahasiswa baru FK/FKG yang tertuang pada pasal 27 ayat (4) dan (5); “(4) Seleksi penerimaan calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui jalur khusus. (5) Seleksi penerimaan calon mahasiswa melalui jalur khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditujukan untuk menjamin pemerataan penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pertanyaan yang muncul terkait masalah ini yang belum terjawab di UU Pendidikan Kedokteran, sebagai berikut:
-      Siapakah pelaksana jalur khusus? Apakah seleksi nasional atau mandiri
(fakultas) ?
-      Jalur khusus ini mempertimbangkan kondisi masyarakat berpenghasilan rendah, artinya apakah kemungkinan ada kuota secara finansial ?
Hal ini dikhawatirkan berdampak pada pemanfaatan jalur penerimaan sebagai ladang komersialisasi pendidikan oleh fakultas, seperti yang terjadi di beberapa institusi yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran saat ini, di mana terdapat beberapa institusi pendidikan yang memiliki fakultas kedokteran menyelenggarakan “jalur mandiri” dengan tujuan (dalih) untuk menyeleksi calon mahasiswa sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh institusi tersebut, tetapi kenyataannya jalur mandiri dijadikan seleksi finansial yang hanya bisa diakses oleh kalangan ekonomi atas saja.

Seleksi finansial yang dimaksud adalah universitas mematok biaya yang harus dibayarkan oleh calon mahasiswa jika diterima melalui tes yang dilakukan secara mandiri oleh universitas tersebut, hal ini secara tidak langsung menyingkirkan kalangan tidak mampu (ekonomi lemah) untuk mengikuti jalur mandiri dengan kata lain membatasi akses sebagian calon mahasiswa (tidak mampu) untuk mendapatkan pendidikan, termasuk pendidikan kedokteran. 

Setiap calon mahasiswa dari kalangan ekonomi manapun mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan kedokteran. Tidak ada pembatasan akses terhadap "si miskin" dengan mengurangi kuota untuk jalur mandiri yang diperuntukkan pada kalangan "si kaya". UU Pendidikan Kedokteran seharusnya memberikan solusi terhadap kondisi di atas. Akan tetapi, pengadaan jalur khusus belum tentu menjawab masalah akses tersebut.  Perlu peraturan menteri yang tepat agar tidak ada permainan dalam jalur ini, di mana pemerataan di jamin, tapi tidak dengan kemampuan finansial

Penutup
Akan ada banyak perubahan yang terjadi paska pengesahan UU Pendidikan Kedokteran dan pemberlakuan SJSN dan BPJS. Tantangan yang dihadapi pun beragam mulai dari kesiapan sistem hingga keseriusan pendanaan. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait dampak yang akan ditimbulkan, baik untuk pendidikan dokter maupun untuk kesehatan Indonesia pada umumnya, terutama kajian menyeluruh meliputi SJSN dan roadmapnya.

Sumber








Tidak ada komentar :

Posting Komentar