Sebuah kajian oleh Kastrat
BEM IKM FKUI 2013
UU Dikdok tinggal tunggu ketok palu |
Pelayanan kedokteran di Indonesia saat ini terselenggara
secara tidak merata. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2012,
terungkap bahwa dari 9.510 puskesmas yang ada di Indonesia, 14,7% di antaranya
tidak memiliki tenaga dokter. Selain itu masih terdapat 16,76% puskesmas di
negara kita yang tidak memiliki jumlah tenaga kesehatan (nakes) minimal, yang
terdiri dari 1 dokter, 1 perawat dan 1 bidan.
Dokter-dokter yang ahli itu terpusat di kota besar, terutama
di Jakarta. Sementara itu di beberapa daerah,
keberadaan dokter sangat minim. Posisi rasio dokter penduduk terendah
ditempati oleh Sulawesi Barat (8,8/100 ribu), NTT (10/100 ribu), Maluku
(12,5/100 ribu), Maluku Utara (12,6/100 ribu) dan NTB (13,6/100 ribu). Di sisi
lain, kesejahteraan dokter di Indonesia juga tidak merata, begitu juga kualitas
layanan yang diberikan
Beberapa gambaran permasalahan kesehatan Indonesia di atas,
kemudian coba dijawab dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang belum
lama disahkan pada tanggal 11 Juli 2013, setelah melewati perjalanan yang
panjang semenjak tahun 2011. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas
layanan kesehatan, terutama dokter, melalui perbaikan sistem pendidikan serta
pemerataan kesempatan pendidikan.
Undang-undang ini mengatur kegiatan kedokteran dimulai dari
pendidikan kedokteran itu sendiri hingga bentuk pelayanan kedokteran di
masyarakat. Ada beberapa perubahan yang akan terjadi di dunia kedokteran
Indonesia paska pengesahan peraturan ini. Dari segi pendidikan, institusi
pendidikan kedokteran harus memenuhi beberapa syarat-syarat yang berlaku. Dari
segi pelayanan kesehatan, akan ada Integrasi terhadap perubahan sistem menjadi
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menuntut adanya dokter layanan primer dan
sistem rujukan yang baik,
Berikut adalah beberapa poin penting dalam undang-undang
pendidikan kedokteran ini;
Dokter Layanan Primer.
Apakah itu dokter layanan primer? Dokter layanan primer
adalah sebuah cabang spesialis baru dalam dunia kedokteran Indonesia, ditujukan
untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku pada layanan kesehatan tingkat
pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan
melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi
dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Nantinya, mayoritas pasien akan
dihadapkan dengan dokter layanan primer bertugas saat SJSN sudah rampung.
Dokter Layanan Primer berbeda dari dokter umum karena harus
menjalani studi lebih lanjut selama kurang lebih 2 tahun dan akan diperlakukan setara dengan dokter spesialis.
Hal ini tercantum pada pasal 8 ayat 3 yang berbunyi: ”Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program internsip yang
setara dengan program dokter spesialis.” Sebagai tambahan, dalam program
SJSN nanti, dokter yang akan digaji oleh sistem adalah dokter layanan primer,
dokter spesialis dan dokter sub-spesialis.
Lalu bagaimana nasib dokter umum? Dokter umum masih bisa berpraktek seperti
biasa di klinik dan rumah sakit swasta yang tidak tergabung dalam SJSN selama
mereka memiliki izin untuk berpraktek.
Terdapat beberapa kekhawatiran dalam pendidikan dokter
layanan primer. Salah satunya dalam penyelenggaraan pendidikan. Hanya beberapa
fakultas yang dapat menjalankan program pendidikan dokter layanan primer.
Berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU Pendidikan Kedokteran, yang
berbunyi:
“Program pendidikan dokter
layanan primer, dokter spesialis, subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan
Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk
program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi” studi dokter layanan primer hanya bisa diambil di fakultas
kedokteran dengan akreditasi tertinggi (A) Permasalahan yang mungkin muncul
adalah, dari 80 Universitas yang memiliki fakultas kedokteran di Indonesia,
hanya 19 yang memiliki akreditasi A menurut data badan akreditasi nasional
kemendikbud. Hal ini berpotensi memperkecil kesempatan untuk menjadi dokter
layanan primer, padahal di era SJSN nanti diharapkan jumlah dokter layanan
primer berada di dasar piramida dokter Indonesia, yakni menempati komposisi
dokter terbanyak dari ragam dokter lainnya. Meski dalam pasal 8 ayat 2
dijelaskan lebih lanjut;
“Dalam hal mempercepat
terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas Kedokteran dengan
akreditasi kategori tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja
sama dengan Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih rendah dalam
menjalankan program dokter layanan primer.”
Fakultas kedokteran
dengan akreditasi B bisa menjadi sarana kerjasama
fakultas yang memiliki akreditasi A untuk pendidikan dokter layanan primer,
bentuk kerja sama ini masih belum jelas
Dokter umum tidak diwajibkan untuk mengambil pendidikan
dokter layanan primer, hanya saja jika mau berpartisipasi dalam SJSN maka
dokter umum perlu menjadi dokter layanan primer atau spesialis atau
subspesialis. Selain itu, berdasarkan pasal 31 ayat 1 poin b, “memperoleh insentif di Rumah Sakit
Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran bagi mahasiswa program dokter
layanan primer, dokter spesialissubspesialis, dan dokter gigi spesialis
subspesialis”, selama pendidikan dokter layanan primer, seperti pendidikan
dokter spesialis dan subspesialis, memiliki hak untuk menerima insentif dari rumah sakit pendidikan atas jasa medis
yang dilakukan.
Internsip
Berdasarkan
pasal 38 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
“(1) Mahasiswa yang telah
lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus mengikuti program internsip.
(2) Penempatan wajib
sementara pada program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperhitungkan sebagai masa kerja. “
mahasiswa yang sudah
menyelesaikan pendidikan kedokteran dan sudah disumpah wajib mengikuti
internsip. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang lebih kuat
terhadap program internsip yang sebelumnya diatur melalui Permenkes nomor
229/MENKES/PER/II/2010. Perubahan lain yang terjadi terkai internsip adalah
program Internsip akan dihitung sebagai
masa kerja.
Perbaikan mutu pendidikan
Untuk
memperbaiki mutu pendidikan, maka fakultas kedokteran kini diwajibkan untuk
memiliki rumah sakit pendidikannya sendiri. Berdasarkan pasal 41 ayat 2 “Rumah Sakit Pendidikan Utama hanya dapat
bekerja sama dengan 1 (satu) Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran
Gigi sebagai rumah sakit pendidikan utamanya.”, setiap fakultas kedokteran wajib memiliki 1 rumah sakit pendidikan
utama, dimana rumah sakit pendidikan utama adalah rumah sakit umum. Selain
itu, berdasarkan ayat 3 yang berbunyi “Selain
kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Rumah Sakit Pendidikan Utama
dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah Sakit Pendidikan
Satelit bagi Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi lainnya” fakultas kedokteran boleh memiliki rumah
pendidikan satelit sebagai pelengkap. Untuk menyesuaikan, maka berdasarkan
pasal 59, yang berbunyi
“(1) Fakultas Kedokteran dan
Fakultas Kedokteran Gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (tiga) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Program studi kedokteran
dan program studi kedokteran gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-
Undang ini paling lama 5
(lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” diberikan
masa peralihan selama 5 tahun yang jika setelah 5 tahun masih belum memiliki
rumah sakit pendidikan atau masih belum sesuai dengan ketentuan undangundang
akan ditutup.
Beasiswa
Beasiswa memiliki banyak sumber, antara lain pemerintah,
pemerintah daerah, fakultas dan pihak lain. Pemerintah Pasal 32 yang berbunyi
“(1) Mahasiswa dapat
memperoleh beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan.
(2) Beasiswa dan/atau
bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber
dari: a. Pemerintah;
b.
Pemerintah
Daerah;
c.
Fakultas
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau
d.
pihak
lain.” dan dijelaskan lebih lanjut di pasal 33 yang berbunyi:
(1)
Beasiswa yang bersumber dari
Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 2 huruf a diberikan kepada Mahasiswa
dengan kewajiban ikatan dinas untuk
ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Beasiswa
yang bersumber dari Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b diberikan kepada Mahasiswa
dengan kewajiban ikatan dinas untuk
daerahnya.
(3)
Bantuan biaya pendidikan yang bersumber dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
huruf a dan huruf b diberikan kepada Mahasiswa tanpa kewajiban mengikat dalam rangka memenuhi program afirmasi.
(4)
Beasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan pertimbangan
prestasi dan/atau potensi akademik.”
Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah memiliki
kewajiban ikatan dinas di tempat yang ditentukan oleh pemerintah. Selain itu
mahasiswa juga dapat menerima bantuan dari pemerintah tanpa kewajiban ikatan
dinas.
Penerimaan mahasiswa kedokteran baru
Berdasarkan pasal 27 ayat 2, yang berbunyi “Selain lulus seleksi penerimaan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes
kepribadian.” Tes kepribadian akan
dijadikan bagian dalam tes penerimaan ke fakultas kedokteran. Masih belum
diketahui bentuknya.
Kuota penerimaan
mahasiswa baru juga sekarang diatur dalam UU Dikdok
dimana sebelumnya kuota penerimaan mahasiswa baru menjadi wewenang masingmasing
universitas. Berdasarkan pasal 9 yang berbunyi:
“(1)
Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima
Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
(2)
Ketentuan mengenai kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur
dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.” dan pasal 10 yang berbunyi:
“Dalam hal adanya peningkatan
kebutuhan pelayanan kesehatan, Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dapat menugaskan
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk meningkatkan kuota
penerimaan Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis, dan/atau dokter gigi spesialis-subspesialis sepanjang
memenuhi daya tampung dan daya dukung sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundangundangan.”
kuota mahasiswa
nasional yang bisa diterima ke fakultas kedokteran kini diatur oleh kementrian
bidang kesehatan. Kuota ini bisa naik dan bisa turun
sesuai dengan kebutuhan nasional. Hal ini juga mempengaruhi pendidikan dokter
layanan primer, spesialis dan subspesialis.
Poin yang menurut saya sangat perlu kita kritisi adalah
aksesibilitas calon mahasiswa terhadap pendidikan kedokteran (Penerimaan
Mahasiswa Baru). Selama ini akses dikdok masih menjadi masalah populis yang
belum terselesaikan.
Terkait
masalah akses pendidikan kedokteran, yakni melalui penerimaan mahasiswa baru,
perlu diperjelas mengenai "jalur khusus" penerimaan mahasiswa baru
FK/FKG yang tertuang pada pasal 27 ayat (4) dan (5); “(4) Seleksi penerimaan calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat dilakukan melalui jalur khusus. (5) Seleksi penerimaan calon
mahasiswa melalui jalur khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditujukan
untuk menjamin pemerataan penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Pertanyaan yang muncul terkait masalah ini yang belum
terjawab di UU Pendidikan Kedokteran, sebagai berikut:
-
Siapakah pelaksana jalur
khusus? Apakah seleksi nasional atau mandiri
(fakultas)
?
-
Jalur khusus ini
mempertimbangkan kondisi masyarakat berpenghasilan rendah, artinya apakah
kemungkinan ada kuota secara finansial ?
Hal ini dikhawatirkan berdampak pada pemanfaatan jalur
penerimaan sebagai ladang komersialisasi pendidikan oleh fakultas, seperti yang
terjadi di beberapa institusi yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran saat
ini, di mana terdapat beberapa institusi pendidikan yang memiliki fakultas
kedokteran menyelenggarakan “jalur mandiri” dengan tujuan (dalih) untuk
menyeleksi calon mahasiswa sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh
institusi tersebut, tetapi kenyataannya jalur mandiri dijadikan seleksi
finansial yang hanya bisa diakses oleh kalangan ekonomi atas saja.
Seleksi finansial yang
dimaksud adalah universitas mematok biaya yang harus dibayarkan oleh calon
mahasiswa jika diterima melalui tes yang dilakukan secara mandiri oleh
universitas tersebut, hal ini secara tidak langsung menyingkirkan kalangan
tidak mampu (ekonomi lemah) untuk mengikuti jalur mandiri dengan kata lain
membatasi akses sebagian calon mahasiswa (tidak mampu) untuk mendapatkan
pendidikan, termasuk pendidikan kedokteran.
Setiap calon mahasiswa dari kalangan ekonomi manapun
mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan kedokteran. Tidak ada
pembatasan akses terhadap "si miskin" dengan mengurangi kuota untuk
jalur mandiri yang diperuntukkan pada kalangan "si kaya". UU
Pendidikan Kedokteran seharusnya memberikan solusi terhadap kondisi di atas.
Akan tetapi, pengadaan jalur khusus belum tentu menjawab masalah akses
tersebut. Perlu peraturan menteri yang
tepat agar tidak ada permainan dalam jalur ini, di mana pemerataan di jamin,
tapi tidak dengan kemampuan finansial
Penutup
Akan ada banyak perubahan yang terjadi paska pengesahan UU
Pendidikan Kedokteran dan pemberlakuan SJSN dan BPJS. Tantangan yang dihadapi
pun beragam mulai dari kesiapan sistem hingga keseriusan pendanaan. Perlu
dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait dampak yang akan ditimbulkan, baik
untuk pendidikan dokter maupun untuk kesehatan Indonesia pada umumnya, terutama
kajian menyeluruh meliputi SJSN dan roadmapnya.
Sumber
- @bemikmfkui
- Data Akreditasi Perguruan Tinggi Kemendikbud
- Permenkes nomor 229/MENKES/PER/II/2010 Audiensi tim perumus UU
- http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/07/15/3/168303/IndonesiaAlami-Maldistribusi-Dokter